

kesempurnaan Al-Qur'an
Bagi umat Islam, Al-Qur'an adalah firman Allah yang literal, sempurna, dan bukan ciptaan, penuh keajaiban dalam keindahan puitis dan kesempurnaan linguistiknya. Lalu, seberapa selaraskah klaim tersebut dengan apa yang sebenarnya dikatakan Al-Qur'an?
Umat Muslim diajarkan untuk membaca Al-Qur'an dan salat lima waktu dalam bahasa Arab aslinya. Namun, hanya 20% Muslim di seluruh dunia yang merupakan penutur asli bahasa Arab. Ini berarti sebagian besar Muslim mengandalkan terjemahan untuk memahami makna bacaan mereka. Tak heran, hal ini memicu perdebatan tanpa akhir tentang terjemahan "benar" atau paling "akurat" dari firman Allah yang sempurna, yang mengakibatkan beragam versi dan interpretasi.
Namun, yang jarang dipertanyakan adalah ironi pengungkapan agama yang konon universal dalam dialek Bahasa Arab Klasik yang kini kuno. Terjemahan modern terkadang menyertakan tambahan interpretatif, seperti menyisipkan "[dengan ringan]" sebelum perintah untuk memukul istri. Pilihan redaksi ini tidak ditemukan dalam bahasa Arab asli dan mencerminkan upaya untuk melunakkan ayat-ayat yang bermasalah alih-alih menerjemahkannya dengan tepat.
Teksnya sendiri mengandung banyak istilah yang sangat samar, beberapa di antaranya hanya muncul dalam Al-Qur'an. Di kalangan ulama, bahkan ada istilah untuk mengkaji kata-kata Al-Qur'an yang langka dan sulit dipahami: Gharib al-Qur'an .
Yang menambah kebingungan, beberapa surah dimulai dengan huruf Arab yang tidak terhubung, seperti Alif Lam Mim dalam Al-Qur'an 2:1 atau Nun dalam Al-Qur'an 68:1 , yang tidak memiliki makna yang jelas. Beberapa ulama Islam mengklaim bahwa ini adalah misteri ilahi yang hanya diketahui oleh Allah, tujuannya tersembunyi. Dalam sebuah kitab yang dikatakan sangat jelas dan dapat diakses oleh semua orang, ketidakjelasan semacam ini sulit dipahami.
Meskipun Al-Qur'an secara luas diyakini sebagai firman Allah yang literal dan jelas, Al-Qur'an 3:7 mengakui bahwa beberapa ayat bersifat alegoris. Ayat yang sama memperingatkan umat beriman untuk tidak menafsirkan alegori-alegori ini, yang menyiratkan bahwa hal itu dapat menyebabkan perpecahan. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa hanya Allah yang mengetahui makna sebenarnya, dan bahwa umat beriman harus menerima kesempurnaan Al-Qur'an hanya dengan iman.
Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran Al-Qur'an mungkin tidak langsung terlihat, tetapi harus diterima tanpa keraguan, seperti halnya keyakinan supranatural yang berada di luar pemahaman empiris. Akibatnya, ayat-ayat yang tidak jelas dan ambigu telah menyebabkan konflik sektarian dan interpretasi yang berbeda selama berabad-abad. Hal ini melemahkan klaim bahwa teks Al-Qur'an itu sendiri sempurna, lengkap, dan tidak berubah, serta gagasan bahwa Islam dapat dipahami secara universal dan abadi.
Beberapa. Posisi Al-Qur'an dalam isu-isu tertentu tampaknya berubah seiring waktu. Misalnya, dalam Al-Qur'an 16:67 , anggur digambarkan sebagai minuman yang "sehat", dan Al-Qur'an 4:43 menyebutkan mabuk tanpa melarangnya. Namun, ayat-ayat lain—Al-Qur'an 5:90 dan 2:219 —mengutuk anggur sebagai perbuatan setan dan menyebut minum anggur sebagai dosa besar. Mengingat Al-Qur'an ditulis dalam rentang waktu 23 tahun, perubahan pendapatnya tentang isu ini tampak seperti pertanda kepengarangannya oleh manusia, alih-alih suara ilahi yang memberikan petunjuk yang konsisten dan abadi.
Al-Qur'an juga mengulang beberapa kisah berkali-kali dengan detail yang berbeda dan saling bertentangan tanpa tujuan yang jelas. Misalnya:
Ketidakkonsistenan seperti ini merupakan hal yang umum dalam cerita lisan atau ingatan manusia yang beragam, yang memberikan penjelasan yang jauh lebih sederhana dan koheren terhadap kontradiksi tersebut dibandingkan argumen berbelit-belit dari para teolog.
Pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang meriwayatkan Al-Qur'an menghadirkan isu lain. Meskipun sebagian besar teks dibingkai sebagai Allah yang berbicara langsung kepada manusia, ayat-ayat lain merujuk kepada Allah sebagai orang ketiga, seperti Al-Qur'an 112:1-4 ; 57:1-2 ; 25:2 ; dan 16:70 . Pergeseran gaya narasi ini menciptakan inkonsistensi dan menimbulkan pertanyaan tentang kepengarangan ilahi. Alih-alih dibaca sebagai satu suara ilahi, perubahan ini menunjukkan seorang perawi manusia yang menggambarkan Allah, bukan Allah yang berbicara kepada manusia.
Mungkin yang paling mencolok, Al-Qur'an 19:27-34 merujuk pada Maria, ibunda Isa, dan Maria, saudara perempuan Harun, sebagai orang yang sama. Keduanya adalah individu yang berbeda, yang, sebagaimana tercatat dalam kronologi agama, diperkirakan hidup terpisah lebih dari seribu tahun. Penggabungan ini menunjukkan adanya kesalahan faktual yang signifikan atau kesalahpahaman terhadap teks asli yang menjadi sumber kisah tersebut. Para teolog sering menjelaskan hal ini sebagai referensi pada garis keturunan spiritual Maria. Namun, pembacaan literal tidak menyebutkan hal tersebut, sehingga menimbulkan inkonsistensi kronologis yang signifikan. Kesalahan manusia dalam hal ini adalah satu hal; kesalahan Tuhan yang Maha Tahu dalam hal ini adalah hal yang berbeda.
Tidak sepenuhnya. Meskipun Al-Qur'an sering disajikan sebagai kitab suci berisi tuntunan moral universal yang abadi, beberapa ayat hanya berfokus pada Nabi Muhammad, memberinya hak istimewa dan mengajarkan cara memperlakukannya. Ayat-ayat ini menonjol karena bersifat personal dan situasional—jauh dari universal cakupannya.
Misalnya, dalam Al-Qur'an 66:1 , Allah menegur Muhammad karena mengingkari hawa nafsunya demi menyenangkan istri-istrinya, dan sebaliknya mendorongnya untuk berbuat sesuka hatinya dalam batasan agama. Beberapa ayat kemudian ( 66:5 ), Allah memperingatkan istri-istri Muhammad untuk memperbaiki perilaku mereka atau berisiko digantikan oleh wanita-wanita yang "lebih baik". Bahwa wahyu ilahi begitu terfokus pada teguran terhadap istri-istri Nabi dan mengancam keterbuangan mereka merupakan hal yang penting, terutama ketika hal itu selaras dengan kepentingan Muhammad sendiri.
Al-Qur'an 33:50 menguraikan hak-hak perkawinan yang diberikan secara eksklusif kepada Muhammad, termasuk hak untuk menikahi sepupu, tawanan perang, dan perempuan yang menawarkan diri kepadanya. Izin-izin ini secara eksplisit hanya berlaku untuknya, bukan untuk umat beriman lainnya. Yang lebih tidak lazim lagi, Al-Qur'an 33:53 memerintahkan para pengikutnya untuk tidak berlama-lama di rumah Muhammad setelah makan, dengan menyatakan bahwa meskipun Nabi terlalu malu untuk meminta mereka pergi, "Allah tidak malu akan kebenaran." Ayat ini mengangkat kenyamanan pribadi Nabi ke tingkat kepedulian ilahi.
Al-Qur'an juga melarang siapa pun menikahi janda-janda Muhammad setelah wafatnya, yang secara efektif menjaga statusnya yang tinggi bahkan setelah kematian. Secara keseluruhan, ayat-ayat ini kurang terasa seperti tuntunan moral universal, melainkan lebih seperti seorang pemimpin agama yang memberikan dirinya hak istimewa atas nama kehendak Tuhan. Ini adalah pola yang kita kenali dalam kepemimpinan manusia yang cacat, tetapi Islam meminta kita untuk melihat Nabi-Nya sebagai satu-satunya pengecualian.